Penyampaian Materi “Pencegahan Korupsi Pengelolaan Dana Desa sebagai Upaya Penguatan Kapasitas Aparatur Desa” oleh Ketua PRANK USK

Pada kegiatan Penguatan Pemerintah dan Pembangunan Desa (P3PD) Mita Mulia Hotel, Darussalam Banda Aceh, 22 Agustus 2024

Koordinator Prodi S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Muhammad Ya’kub Aiyub Kadir, S.Ag., L.L.M., Ph.D yang juga selaku Ketua Pusat Riset Anti Korupsi (PRANK) Universitas Syiah Kuala (USK), menjadi narasumber pada kegiatan Penguatan Kapasitas Aparatus Desa melalui Program Penguatan Pemerintah dan Pembangunan Desa (P3PD). Kegiatan ini merupakan program tahunan yang diadakan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Aceh.

Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2024 bertempat di Mita Mulia Hotel diikuti dari unsur Tuha Peut Gampong, Keuchik Gampong, Sekretaris Desa dari 3 kabupaten yaitu kabupaten Pide, Kabupaten Aceh Besar, dan Kabupaten Aceh Jaya.

Ketua PRANK USK pada kegiatan ini menyampaikan materi dengan judul “Pencegahan Korupsi Pengelolaan Keuangan Desa”. Pada kesempatan ini Ketua PRANK USK hadir bersama dosen-dosen dari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum USK yakni Riza Chatias Pratama, S.H., L.L.M, dan Fathin Abdullah, S.H., M.H.

Dalam pemaparannya Ketua PRANK USK menyampaikan bahwasanya berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis 10 besar kasus korupsi yang terjadi di lembaga sebanyak 416 kasus korupsi selama tahun 2020. Jumlah tersebut, korupsi di sektor pemerintah desa menyumbang 141 kasus korupsi. Berdasarkan hal tersebut, Ia menegaskan perangkat desa berpotensi menjadi penyumbang tertinggi dalam kasus korupsi. Selain itu, data dari ICW bertajuk Tren Penindakan Korupsi Berdasarkan Aktor 2020, ASN yang terjerat kasus korupsi sebanyak 272 orang. Pihak swasta menyusul sebagai koruptor terbanyak pada 2020 dengan jumlah 174 orang. Kemudian, disusul oleh kepala desa yang terjerat korupsi sebanyak 132 kepala desa. Berdasarkan hal tersebut tentunya menjadi perhatian bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepala desa termasuk tinggi.

Ketua PRANK USK menambahkan setidak-tidaknya ada 18 titik-titik rawan terjadinya penyelewengan atau korupsi keuangan desa dari hasil temuan Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu:

  1. Gratifikasi dalam proses pelayanan.

    Pemaparan Materi oleh Muhammad Ya’kub Aiyub Kadir, S.Ag., L.L.M., Ph.D (Ketua PRANK USK) Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa

  2. Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa.
  3. Proses Pengadaan Barang Jasa (PBJ) Desa tidak lengkap.
  4. Penggunaan Dana Desa tidak sesuai peruntukan.
  5. Digitalisasi Dokumen keuangan dan PBJ.
  6. Pengembalian dana ke APBDes hanya berupa kuitansi.
  7. Kriteria dukungan dana tambahan (BUMDES).
  8. Self-Reminder Anti Korupsi.
  9. Hasil Audit tidak ditindaklanjuti.
  10. Minim Publikasi dan Pengelolaan pengaduan masyarakat hanya berupa kotak pengaduan.
  11. Kepala Desa dan Tim Pelaksana di Desa tidak memahami Peraturan Bupati terkait turunan PBJ.
  12. Kepala Desa dan Perangkat Desa tidak memahami aturan Peraturan Menteri Desa
  13. Kepala Desa dan Perangkat Desa tidak memahami aturan Peraturan Menteri Desa tentang Prioritas Penggunaan Dasa Desa
  14. Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dari Perusahaan dalam Bentuk Uang dan diberikan kepada kepala Desa dan Perangkat Desa dalam bentuk Penghasilan
  15. Masyarakat tidak diikutsertakan dalam perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan keuangan.
  16. Penentuan harga sewa kepada pihak ketiga tanpa mekanisme appraisal atau musywarah desa
  17. Masih ada daerah yang belum memiliki Peraturan Bupati terkait PBJ
  18. Tekanan dari Oknum-Oknum yang memanfaatkan sumber daya dan keuangan desa.

Berdasarkan 18 titik-titik rawan korupsi tersebut Ketua PRANK USK menjabarkan setidaknya ada empat faktor penyebab korupsi dalam pengelolaan dana desa. Pertama, minimnya pelibatan dan pemahaman warga akan proses Pembangunan desa. Warga kerap dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan Pembangunan di desa tetapi masih terbatas. Tidak banyak warga yang mempunyai kemampuan cukup dalam memamahami proses pembangunan, khususnya pemahaman anggaran di desa, hak dan kewajiban sebagai warga di desa dan lainnya.

Kedua, minimnya fungsi pengawasan anggaran di desa. Lembaga seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) belum sepenuhnya optimal dalam menjalankan pengawasan anggaran di desa. BPD seharusnya dapat berperan penting mencegah korupsi di desa, termasuk mendorong warga untuk bersama-sama mengawasi pembangunan di desa.

Ketiga, terbatasnya akses warga atas informasi seperti anggaran desa. Sebagai contoh, publikasi hanya seputar total jumlah anggaran yang diterima desa dan total jumlah pengeluaran. Sementara rincian penggunaan tidak dipublikasikan baik secara berkala, bahkan tidak diberikan sama sekali. Terbatasnya informasi mengenai pelayanan publik di desa. Warga sering kali tidak mendapatkan informasi mengenai seputar akses layanan seperti kesehatan dan pendidikan.

Keempat, keterbatasan kemampuan dan ketidaksiapan perangkat desa dalam mengelola uang dalam jumlah besar. Korupsi di desa tidak selalu disebabkan kehendak kepala desa atau perangkat desa untuk secara sengaja melakukannya, tetapi dapat terjadi karena keterbatasan kemampuan dan ketidaksiapan mereka mengelola uang dalam jumlah besar.

Pada akhir materi, Ketua PRANK USK menuturkan upaya pencegahan korupsi dalam pengelolaan keuangan desa dapat dilakukan dari bebarapa upaya seperti membentuk regulasi yang jelas dan tegas, tranparansi anggaran, memberikan pendidikan anti korupsi kepada kepala desa dan perangkat desa, Pengawasan dan Audit internal, berkolaborasi dengan masyarakat, organisasi masyarakat dan menjalin kemitraan dengan Universitas.

Riza Chatias Pratama, S.H., L.L.M selaku dosen hukum pidana FH USK juga menjelaskan pendekatan hukum sebagai upaya dalam pencegahan korupsi pengelolaan keuangan desa. Dari perspektif hukum ada dua jenis pelanggaran korupsi yakni pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana.

Pelanggaran Administratif merupakan tindakan yang melanggar prosedur, aturan, atau kebijakan administratif yang ditetapkan oleh pemerintah. Contohnya termasuk ketidakpatuhan terhadap prosedur pengelolaan keuangan, kesalahan dalam pencatatan, atau penyalahgunaan wewenang administratif. Penyelesaian pelanggaran administratif dapat diselesaikan dengan 3 cara. Pertama, pemeriksaan internal yang dilakukan oleh inspektorat daerah atau aparat pengwasan internal untuk mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi. Kedua, dari hasil pemeriksaan internal tersebut akan ditindaklanjuti dengan tindakan korektif seperti pengembalian aset yang hilang, perbaikan prosedur, atau sanksi administratif (teguran, peringatan) dapat diterapkan. Ketiga, setelah dilaksanakan tindakan korektif oleh yang bersangkutan maka akan dilakukan Pengawasan dan Monitoring untuk memastikan bahwa pelanggaran tidak terulang.

Upaya selanjutnya apabila tindakan administratif tidak dapat menyelesaikan pelanggaran Administratif maka akan ditempuh penyelesaian secara Pidana. Siapapun yang diduga melakukan tindakan pidana yaitu tindakan yang melanggar hukum pidana, seperti korupsi, penggelapan, atau penipuan yang melibatkan keuangan desa akan melalui proses peradilan mulai dari penyelidikan dan penyidikan, proses hukum (Pengadilan sampai dengan menjalani hukuman pidana), serta upaya pemulihan aset oleh Negara sebagai upaya pengembalian aset desa yang hilang melalui mekanisme penyitaan aset yang diperoleh secara tidak sah.

Pemaparan Materi oleh Riza Chatias Pratama, S.H., L.L.M Dosen Bagian Hukum Pidana FH USK

Riza Chatias Pratama, S.H., L.L.M menegaskan bahwa aparat desa yang melakukan praktik tindak pidana korupsi dapat diancam dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Beliau mengingatkan kepada para peserta yang hadir bahwa tindakan korupsi merupakan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan memiliki konsekuensi hukum yang merugikan masyarakat, pelaku beserta keluarganya.  

Selanjutnya, Fathin Abdullah, S.H., M.H. yang juga merupakan Dosen dari Bagian Hukum Pidana FH USK menambahkan bahwa para kepala desa dan perangkat desa untuk menerapkan prinsip transparansi dalam pengelolaan keuangan desa dengan melakukan hal-hal berikut:

Pemaparan materi oleh Fathin Abdullah, S.H., M.H. Dosen Bagian Hukum Pidana FH USK

Pertama, keterbukaan Informasi dimana informasi mengenai perencanaan, pelaksanaan, dan hasil kegiatan pembangunan desa harus disampaikan kepada masyarakat secara terbuka. Kedua, media yang dapat digunakan antara lain papan pengumuman desa, website desa, media sosial, dan rapat umum. Ketiga, masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengawasan kegiatan pembangunan desa melalui forum-forum seperti Musyawarah Desa (Musdes). Keempat, pelaporan dan Akuntabilitas dimana Kepala Desa dan perangkat desa wajib menyusun dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban kegiatan dan keuangan desa kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan masyarakat secara berkala. Kelima, masyarakat memiliki hak untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan desa dan penggunaan anggaran desa. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan tim pengawas independen yang terdiri dari perwakilan masyarakat.

Pada akhir penyampaian materinya, Fathin Abdullah, S.H., M.H. juga berpesan kepada para peserta pelatihan untuk merespon baik terhadap pengaduan masyarakat atas dugaan praktik-praktik korupsi. Dengan dipermudahnya masyarakat dalam melakukan pengaduan terkait pelaksanaan pembangunan desa masyarakat dapat berperan aktif menyampaikan pengaduan jika menemukan indikasi penyimpangan seperti berpartisipasi dalam forum-forum musyawarah desa dan mengawasi secara langsung pelaksanaan pembangunan. Untuk membantu desa dalam merespon pengaduan masyarakat Pemerintah Desa dapat melibatkan Badan Permusyawaratan Desa, Tokoh Masyarakat, dan Akademisi/Praktisi yang ahli dalam hal pencegahan anti-korupsi dalam pengelolaan keuangan desa.

Para peserta yang hadir menyampaikan beberapa persoalan yang dihadapi oleh pemerintah desa dalam pengelolaan keuangan desa misalnya audit terkait pengelolaan keuangan dana desa yang tidak dilakukan secara berkala, terbatasnya akses pengaduan masyarakat karena minimnya kemampuan aparat desa dalam menindaklanjuti pengaduan masyarakat. Keterbatasan sarana dan prasana teknologi informasi dalam mengelola keuangan desa yang dituntut harus digitalisasi oleh pemerintah Pusat.

Padi akhir pertemuan Ketua Pusat Riset Anti Korupsi (PRANK) USK menawarkan kerjasama kemitraan kepada Tuha Peut, Keuchik Gampong, Sekdes para peserta kegiatan Penguatan Kapasitas Aparatus Desa melalui Program Penguatan Pemerintah dan Pembangunan Desa (P3PD) yang hadir sebagai upaya untuk menangani persoalan-persoalan desa khususnya dalam Pencegahan Korupsi Pengelolaan Keuangan Desa.

Categories:

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *